Penanganan Manajemen Konflik / Kasus PT Unilever, Tbk
Bagi yang
belum tahu kronologis ceritanya, saya akan coba paparkan detailnya. Di posting
kali ini, saya hanya akan membahas kasus Wall’s Ice Cream Day di Surabaya.
11 Mei 2014
Kisah ini
dimulai ketika acara bagi – bagi es krim yang dilakukan di Jalan Raya Darmo itu
merusak Taman Bungkul dan jalur hijau pembatas jalan. Tidak terima dengan
kondisi tersebut, Walikota Surabaya Tri Rismaharini pun langsung murka dan
menuntut PT. Unilever Indonesia sebagai pihak penyelenggara ke kepolisian.
Perlu diketahui, Taman Bungkul merupakan taman yang mendapat pengakuan
internasional dari PBB dengan kategori: The 2013 Asian Townscape Sector Award.
Dalam
menanggapi kemurkaan Risma, PT Unilever Indonesia hanya menunjuk satu orang
sebagai juru bicara yang diwakili oleh Head Corporate Communication PT Unilever
Indonesia, Maria Dewantini Dwianto. Maria memulai langkah manajemen krisis
dengan permohonan maaf dan berkomitmen untuk bertanggung jawab penuh atas semua
kerusakan. Maria juga meminta audiensi bertemu Risma untuk meminta maaf secara
langsung dan menyampaikan kronologis kejadian.
16 Mei 2014
Saat
memberikan pengarahan pada kepala sekolah se-Surabaya di SD Xi Zhong, sikap
Risma mulai melunak. Risma mengatakan akan mencabut gugatannya di kepolisian
karena ada beberapa oknum yang memanfaatkan nama Pemkot Surabaya untuk memeras
Unilever puluhan hingga ratusan juta rupiah. Risma mengklaim laporan itu
didapat dari pertemuan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dengan PT
Unilever Indonesia pada Rabu, 14 Mei 2014 lalu. Menanggapi hal tersebut, Maria
enggan berkomentar dan mengatakan itu bukan kompetensi dirinya untuk menjawab.
Ketika ditanya soal tuntutan tersebut, Maria menegaskan PT Unilever Indonesia
saat ini fokus untuk restorasi Taman Bungkul agar kembali seperti semula.
Dalam
menghadapi krisis, 24 – 72 jam pertama merupakan waktu yang sangat krusial.
Dalam kurun waktu tersebut, akan terlihat bagaimana media menekan perusahaan
dan menentukan apakah isu tersebut layak atau tidak di-blow up ke publik. Jika
perusahaan malah bersikap tidak kooperatif, no comment. Maka akan memunculkan
persepsi bahwa perusahaan menutupi fakta yang sebenarnya dan jurnalis akan makin
gencar menyerang perusahaan.
Dari kasus
di atas, langkah yang dilakukan PT. Unilever Indonesia cukup baik. Unilever
menunjuk satu orang yaitu Head Corporate Communication PT Unilever Indonesia,
Maria Dewantini Dwianto sebagai penghubung antara perusahaan dengan publik.
Langkah ini penting diambil untuk mengontrol informasi yang berkembang.
Langkah
berikutnya yaitu mengakui kesalahan, meminta maaf, bertanggung jawab dan fokus
pada perbaikan kerusakan. Dalam menghadapi krisis, perusahaan harus menunjukkan
itikad baiknya untuk menyelesaikan masalah dengan bertanggung jawab.
Selain itu,
perlu diperhatikan kecepatan dan keakurasian jawaban yang diberikan. Dalam
menghadapi krisis, perlu kesigapan menghimpun data yang relevan dan
meng-counter pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dengan data – data akurat. Karena
Public Relations bukanlah lip service semata.
Perlu
diingat juga, ketika diminta keterangan tentang hal yang sensitif, spekulatif
dan di luar kapabilitas, ada baiknya untuk menolak. Seperti ketika Maria
diminta tanggapan soal adanya pemerasan terhadap Unilever. Maria menolak dengan
alasan itu di luar kapabilitasnya. Ini penting dilakukan untuk mencegah suasana
menjadi tambah parah.
Daftar Pusaka : https://michaelbliss.co/2014/05/24/studi-kasus-unilever-risma-dan-es-krim/
Daftar Pusaka : https://michaelbliss.co/2014/05/24/studi-kasus-unilever-risma-dan-es-krim/
0 komentar: